LIONTIN ( Majalah Femina edisi 04 tanggal 23-29 Januari 2016 )





“Adakah perempuan lain yang hadir dalam hidupmu sebelum aku, Bang? Maksudku yang istimewa bagimu?” tanya Kinan pada Bima, suaminya.
“Kok tiba-tiba tanya itu, Dek? Ada apa?” Bima balik bertanya.
Kinan sebal sekali pada sikap suaminya yang satu itu. Ditanya malah balik tanya. Bima yang sedang asik membaca koran tak menyadari perubahan wajah istrinya.
“Kemarin aku membersihkan gudang, Bang. Lalu...” Kinan menggantung kalimatnya.
“Lalu apa?” tanya Bima tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang tengah dibacanya. Minggu pagi memang waktunya mengisi nutrisi otak dengan membaca koran tanpa merasa dikejar waktu.
Kinan menghela napas. “Tidak. Tidak apa-apa.” Kinan memutuskan untuk menunda pembicaraan hingga tiba saat yang tepat. Sementara ini ia harus sabar dan mencoba menahan rasa penasarannya.
Semua bermula saat kinan mencoba membersihkan gudang di belakang rumah. Gudang dan rumah yang ia tempati merupakan peninggalan orang tua Bima yang meninggal saat sebuah pesawat menabrak Gunung Salak beberapa waktu lalu. Rumah yang menganut arsitektur Belanda ini terlihat rapuh di beberapa bagian dan tampaknya memerlukan renovasi di sana-sini. Termasuk gudang.
Saat membersihkan gudang itulah Kinan menemukan sebuah lukisan indah. Lukisan yang menggambarkan seorang perempuan yang tengah berdiri di tepi pantai dengan latar suasana hujan deras dan mendung yang gelap. Sepertinya pelukisnya mencoba menggambarkan suasana sedih yang tengah di rasakan perempuan itu. Dan ada seekor burung di tangan kirinya. Ya. Bagi Kinan yang awam tentang lukisan, ia menangkap kesedihan yang begitu dalam. Yang membuatnya heran, kenapa lukisan seindah ini berada di gudang?
“Biasanya pelukis akan membubuhkan tanda tangan atau simbol atau bisa juga inisial yang menggambarkan dirinya di pojok lukisan.” Kinan teringat kata Meta, sahabatnya yang juga pelukis. Kinan memeriksanya.
“Dan kalau kamu tidak menemukannya di bagian depan, coba tengok bagian belakang lukisan.” Kalimat lain dari Meta terngiang.
Di bagian belakang lukisan itu Kinan menemukan inisial. YBA.
“YBA... YBA...” Kinan bergumam sambil terus mencoba mengingat.
Tak lama kemudian ia menyadari bahwa inisial itu melambangkan suaminya, Yudhit Bima Arjati.

***

Keesokan harinya Kinan kembali membersihkan gudang. Dia ingin barang-barang yang sudah tak bermanfaat dikeluarkan. Kalau menunggu suaminya, bisa-bisa tahun depan mereka baru bisa merenovasi gudang itu. Sementara keadaannya sudah demikian menghawatirkan. Kinan ingin segera merenovasi gudang.
Ada patahan kursi goyang, ada sekumpulan kuas berbagai ukuran, kaleng-kaleng cat kosong dan kemudian, disalah satu sudut, terhalang oleh kursi jati tua yang sangat berat, Kinan menemukan sebuah bungkusan. Bentuknya kotak, dibungkus kertas tebal berwarna cokelat. Sepertinya dibungkus beberapa lapis, pikir Kinan.
Tadinya ia hendak menanyakan mengenai bungkusan itu pada Bima. Namun ia teringat Bima sedang berada di kantor. Tidak etis mengganggunya hanya karena sebuah bungkusan usang di gudang. Meneruskan memeriksa, Kinan meraba lapisan terluar dari benda yang dipegangnya. Dia sama sekali tidak menemukan petunjuk apa-apa. Perlahan, ia merobek lapisan pertama dan mendapati sebuah kertas berisi tulisan indah di permukaannya,
Bagiku kau tetap kecil meski kini tubuhku jauh lebih kecil darimu. Aku rindu si kecil dengan sepedanya yang selalu riang menyapa ombak di pantai, membiarkan angin menerbangkan helai-helai rambutnya.”
Penasaran, Kinan membuka seluruh pembungkusnya. Dia menemukan sebuah lukisan yang tak kalah indah dengan lukisan yang ia temukan sebelumnya. Seorang anak lelaki kecil tengah menuntun sepeda dengan latar belakang pantai dan langit biru cerah. Biru, lambang sebuah kerinduan bagi Kinan.
Kenapa lukisan ini masih terbungkus rapi? Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Kinan. Dari tulisannya, dia yakin pengirimnya adalah seorang perempuan. Tapi siapa? Siapa yang dimaksud si Kecil? Tampaknya gudang ini menyimpan banyak rahasia baginya.

***

Meta menghembuskan asap rokok dari bibirnya, memenuhi galerinya dengan sisa-sisa pembakaran nikotin yang membuat napas Kinan sesak. Sejak awal kuliah, Meta memang berbeda. Dia selalu tampil apa adanya, menjadi dirinya meski banyak yang mencemooh pilihannya. Seperti merokok. Tapi Kinan tahu, Meta hanya merokok ketika jenuh. Jauh lebih banyak waktu yang dihabiskan Meta untuk melukis daripada untuk merokok.
“Kecurigaanmu tidak beralasan, Nan.” Ujar Meta setelah beberapa jenak saling diam.
“Tapi, Met...”
Meta mengibaskan tangannya, meminta Kinan diam.
“Kecurigaanmu hanya akan menjadi bumerang bagimu. Kalau kamu terus memikirkan lukisan-lukisan usang itu, waktu untuk memikirkan hal lain akan terbuang.”
Kinan menatap Meta dengan pandangan tak mengerti. Mungkin bagi Meta itu lukisan usang. Tapi bagi Kinan, lukisan itu menyimpan banyak cerita yang tidak ia ketahui.
“Saat ini kamu sedang berada di pusaran keraguan dan ketidakpastian, Nan. Kalau begini terus, aku khawatir rumah tangga yang baru kalian bangun akan berantakan. Dan kamu akan menyesal ketika semuanya hancur tak bersisa.” Suara Meta memelan. Lebih seperti bisikan.
Kinan terdiam.
“Mungkin memang lukisan itu adalah yang teristimewa di masa lalu Bima. Tapi lihat dirimu. Kamu adalah masa kini dan masa depannya.” Tambah Meta.
Kinan menelan ludah. Meta benar.
“Hidup selalu seperti lingkaran bagiku, Nan. Masa lalu, masa kini dan masa depan saling terkait. Tapi aku tak ingin terbelenggu pada masa lalu yang bisa menghancurkan masa depan. Coba pikirkan itu, Nan.” Meta mengakhiri kalimatnya dan mulai menyapukan kuas perlahan di kanvas kosong. Warna itu lagi, batin Kinan. Biru. Biru yang selalu dibencinya.

***

“Pameran seni, Bang?” tanya Kinan tak percaya.
Tiga tahun pernikahan mereka, baru kali ini Bima mengajaknya untuk menghadiri pameran seni yang diadakan di kampus tempatnya berlajar seni dulu.
Bima mengangguk mantap sambil memperlihatkan dua tiket yang dipesannya melalui teman-temannya yang masih aktif di kegiatan kampus meski sudah lama lulus.
“Tumben?” tanya Kinan.
“Sesekali memanjakan istri boleh, dong? Apalagi belakangan ini kamu kelihatan mulai menyukai seni lukis.” Ujar Bima.
Memang belakangan ini Kinan sering kali mengumpulkan informasi mengenai lukisan. Baik melalui koran, majalah, maupun internet. Sebenarnya dia hanya ingin mencari petunjuk selanjutnya mengenai lukisan-lukisan yang ia temukan di gudang di belakang rumah mereka.
“Dalam pameran seni ini, tak hanya ada lukisan saja. Tapi macam-macam kesenian termasuk pahat, rajut, dan lain-lain.” Bima menjelaskan sembari terus berjalan menuju Gedung Serba Guna yang dijadikan tempat pameran.
Kinan mengangguk-anggukkan kepala. Semoga saja di tempat itu dia bisa menemukan sedikit lagi petunjuk tentang perempuan dalam lukisan suaminya.
Satu jam berputar-putar sepertinya tak cukup untuk Kinan. Begitu banyak hal-hal menakjubkan yang ia temukan. Sekali lagi ia mengitari ruang pameran. Kali ini dia sendirian. Bima tengah bertegur sapa dengan beberapa panitia yang dikenalnya.
Pada satu sudut Kinan terpaku. Di hadapannya ada sebuah topeng yang terbuat dari kayu. Topeng dengan wajah renta dan alis memutih seolah menampakkan raut wajah yang telah dimakan usia. Menjadi tua adalah kodrat alam yang tak bisa dihindari oleh manusia. Kinan sadar itu. Dan perlahan kesadaran itu hadir. Bahwa saat ini adalah waktu yang kelak akan menjadi kenangan di masa tuanya nanti. Akankah dia menghabiskannya untuk berburuk sangka pada Bima?

***

Satu jus apukat untuk Bima, satu just stroberi untuk Kinan. Kinan mengucapkan terima kasih pada waitress yang telah membawakan minuman ke meja mereka. Malam ini Kinan mengenyahkan semua rasa heran atas tingkah Bima. Kalau kemarin tiba-tiba saja Bima mengajaknya ke pameran lukisan, kali ini Bima mengajaknya untuk makan malam di kafe tempat Bima dulu melamarnya. Kafe yang tiga tahun lalu menjadi saksi saat anggukan kecilnya sanggup membuat Bima teriak-teriak kegirangan.
“Nan?” Bima memanggilnya dengan nada ragu-ragu.
“Kenapa?” tanya Kinan.
“Apa kamu pernah merasa cemburu selama menjadi istriku?” tanya Bima.
Kinan menautkan alisnya tak mengerti. Dia ingin jujur, tapi dia sendiri tidak tahu apakah kejujurannya adalah yang terbaik. Belum sempat ia menjawab, Bima sudah melanjutkan kalimatnya.
“Aku selalu merasa cemburu. Pada kamu. Meski kenyataannya kamu tak melakukan apa-apa, tapi kamu sanggup membuat lelaki berpaling hanya dengan sebuah senyuman.”
Gombal? Bima? Kinan diam saja.
“Namun aku sadar, kecemburuanku sia-sia sebab sejatinya aku lah yang memilikimu seutuhnya. Tiga tahun pernikahan kita, meski belum ada suara pangeran dan putri kecil di rumah, namun kita bisa melewatinya dengan baik-baik saja.”
Ya, Kinan ingat kata ibu mertuanya. Bahwa ujian pernikahan itu ada di tahun pertama, ketiga dan kelima. Itu menurut beliau. Namun kapan pun ujian datang, Kinan berharap  ia dan suami selalu bisa mengatasinya, mempertahankan kapal mereka menuju bahtera sakinah hingga akhir hayat. Tiba-tiba rasa cemburunya pada serangkaian lukisan yang ia temukan menguap begitu saja.
“Jika cintaku untukmu adalah mata air yang tak kan ada habisnya, maka cintamu bagiku ada air terjun yang menyejukkan, membahagiakan. Jadilah istriku sampi ajal memisahkan kita.”
Bima mengulurkan sebuah kotak beludru. Seuntai kalung dengan liontin berupa ukiran nama menampakkan diri ketika penutupnya di buka. Kinan, lagi-lagi, terkesima. bukan karena hadiahnya. Tapi, liontin di kalung itu tertulis sebuah nama... Azima.
Itu bukan namanya.