“Adakah perempuan lain
yang hadir dalam hidupmu sebelum aku, Bang? Maksudku yang istimewa bagimu?”
tanya Kinan pada Bima, suaminya.
“Kok tiba-tiba tanya itu,
Dek? Ada apa?” Bima balik bertanya.
Kinan sebal sekali pada
sikap suaminya yang satu itu. Ditanya malah balik tanya. Bima yang sedang asik
membaca koran tak menyadari perubahan wajah istrinya.
“Kemarin aku membersihkan
gudang, Bang. Lalu...” Kinan menggantung kalimatnya.
“Lalu apa?” tanya Bima
tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang tengah dibacanya. Minggu pagi
memang waktunya mengisi nutrisi otak dengan membaca koran tanpa merasa dikejar
waktu.
Kinan menghela napas.
“Tidak. Tidak apa-apa.” Kinan memutuskan untuk menunda pembicaraan hingga tiba
saat yang tepat. Sementara ini ia harus sabar dan mencoba menahan rasa
penasarannya.
Semua bermula saat kinan
mencoba membersihkan gudang di belakang rumah. Gudang dan rumah yang ia tempati
merupakan peninggalan orang tua Bima yang meninggal saat sebuah pesawat
menabrak Gunung Salak beberapa waktu lalu. Rumah yang menganut arsitektur Belanda
ini terlihat rapuh di beberapa bagian dan tampaknya memerlukan renovasi di
sana-sini. Termasuk gudang.
Saat membersihkan gudang
itulah Kinan menemukan sebuah lukisan indah. Lukisan yang menggambarkan seorang
perempuan yang tengah berdiri di tepi pantai dengan latar suasana hujan deras
dan mendung yang gelap. Sepertinya pelukisnya mencoba menggambarkan suasana
sedih yang tengah di rasakan perempuan itu. Dan ada seekor burung di tangan
kirinya. Ya. Bagi Kinan yang awam tentang lukisan, ia menangkap kesedihan yang
begitu dalam. Yang membuatnya heran, kenapa lukisan seindah ini berada di
gudang?
“Biasanya pelukis akan
membubuhkan tanda tangan atau simbol atau bisa juga inisial yang menggambarkan
dirinya di pojok lukisan.” Kinan teringat kata Meta, sahabatnya yang juga
pelukis. Kinan memeriksanya.
“Dan kalau kamu tidak
menemukannya di bagian depan, coba tengok bagian belakang lukisan.” Kalimat
lain dari Meta terngiang.
Di bagian belakang
lukisan itu Kinan menemukan inisial. YBA.
“YBA... YBA...” Kinan
bergumam sambil terus mencoba mengingat.
Tak lama kemudian ia
menyadari bahwa inisial itu melambangkan suaminya, Yudhit Bima Arjati.
***
Keesokan
harinya Kinan kembali membersihkan gudang. Dia ingin barang-barang yang sudah
tak bermanfaat dikeluarkan. Kalau menunggu suaminya, bisa-bisa tahun depan
mereka baru bisa merenovasi gudang itu. Sementara keadaannya sudah demikian
menghawatirkan. Kinan ingin segera merenovasi gudang.
Ada
patahan kursi goyang, ada sekumpulan kuas berbagai ukuran, kaleng-kaleng cat
kosong dan kemudian, disalah satu sudut, terhalang oleh kursi jati tua yang
sangat berat, Kinan menemukan sebuah bungkusan. Bentuknya kotak, dibungkus
kertas tebal berwarna cokelat. Sepertinya dibungkus beberapa lapis, pikir
Kinan.
Tadinya
ia hendak menanyakan mengenai bungkusan itu pada Bima. Namun ia teringat Bima
sedang berada di kantor. Tidak etis mengganggunya hanya karena sebuah bungkusan
usang di gudang. Meneruskan memeriksa, Kinan meraba lapisan terluar dari benda
yang dipegangnya. Dia sama sekali tidak menemukan petunjuk apa-apa. Perlahan,
ia merobek lapisan pertama dan mendapati sebuah kertas berisi tulisan indah di
permukaannya,
“Bagiku kau tetap kecil meski kini tubuhku
jauh lebih kecil darimu. Aku rindu si kecil dengan sepedanya yang selalu riang
menyapa ombak di pantai, membiarkan angin menerbangkan helai-helai rambutnya.”
Penasaran,
Kinan membuka seluruh pembungkusnya. Dia menemukan sebuah lukisan yang tak
kalah indah dengan lukisan yang ia temukan sebelumnya. Seorang anak lelaki
kecil tengah menuntun sepeda dengan latar belakang pantai dan langit biru
cerah. Biru, lambang sebuah kerinduan bagi Kinan.
Kenapa
lukisan ini masih terbungkus rapi? Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak
Kinan. Dari tulisannya, dia yakin pengirimnya adalah seorang perempuan. Tapi
siapa? Siapa yang dimaksud si Kecil? Tampaknya gudang ini menyimpan banyak rahasia
baginya.
***
Meta menghembuskan asap
rokok dari bibirnya, memenuhi galerinya dengan sisa-sisa pembakaran nikotin
yang membuat napas Kinan sesak. Sejak awal kuliah, Meta memang berbeda. Dia
selalu tampil apa adanya, menjadi dirinya meski banyak yang mencemooh
pilihannya. Seperti merokok. Tapi Kinan tahu, Meta hanya merokok ketika jenuh.
Jauh lebih banyak waktu yang dihabiskan Meta untuk melukis daripada untuk
merokok.
“Kecurigaanmu tidak
beralasan, Nan.” Ujar Meta setelah beberapa jenak saling diam.
“Tapi, Met...”
Meta mengibaskan
tangannya, meminta Kinan diam.
“Kecurigaanmu hanya akan
menjadi bumerang bagimu. Kalau kamu terus memikirkan lukisan-lukisan usang itu,
waktu untuk memikirkan hal lain akan terbuang.”
Kinan menatap Meta dengan
pandangan tak mengerti. Mungkin bagi Meta itu lukisan usang. Tapi bagi Kinan,
lukisan itu menyimpan banyak cerita yang tidak ia ketahui.
“Saat ini kamu sedang
berada di pusaran keraguan dan ketidakpastian, Nan. Kalau begini terus, aku
khawatir rumah tangga yang baru kalian bangun akan berantakan. Dan kamu akan
menyesal ketika semuanya hancur tak bersisa.” Suara Meta memelan. Lebih seperti
bisikan.
Kinan terdiam.
“Mungkin memang lukisan
itu adalah yang teristimewa di masa lalu Bima. Tapi lihat dirimu. Kamu adalah
masa kini dan masa depannya.” Tambah Meta.
Kinan menelan ludah. Meta
benar.
“Hidup selalu seperti
lingkaran bagiku, Nan. Masa lalu, masa kini dan masa depan saling terkait. Tapi
aku tak ingin terbelenggu pada masa lalu yang bisa menghancurkan masa depan.
Coba pikirkan itu, Nan.” Meta mengakhiri kalimatnya dan mulai menyapukan kuas
perlahan di kanvas kosong. Warna itu lagi, batin Kinan. Biru. Biru yang selalu
dibencinya.
***
“Pameran seni, Bang?”
tanya Kinan tak percaya.
Tiga tahun pernikahan
mereka, baru kali ini Bima mengajaknya untuk menghadiri pameran seni yang
diadakan di kampus tempatnya berlajar seni dulu.
Bima mengangguk mantap
sambil memperlihatkan dua tiket yang dipesannya melalui teman-temannya yang
masih aktif di kegiatan kampus meski sudah lama lulus.
“Tumben?” tanya Kinan.
“Sesekali memanjakan
istri boleh, dong? Apalagi belakangan ini kamu kelihatan mulai menyukai seni
lukis.” Ujar Bima.
Memang belakangan ini
Kinan sering kali mengumpulkan informasi mengenai lukisan. Baik melalui koran,
majalah, maupun internet. Sebenarnya dia hanya ingin mencari petunjuk
selanjutnya mengenai lukisan-lukisan yang ia temukan di gudang di belakang
rumah mereka.
“Dalam pameran seni ini,
tak hanya ada lukisan saja. Tapi macam-macam kesenian termasuk pahat, rajut,
dan lain-lain.” Bima menjelaskan sembari terus berjalan menuju Gedung Serba
Guna yang dijadikan tempat pameran.
Kinan
mengangguk-anggukkan kepala. Semoga saja di tempat itu dia bisa menemukan
sedikit lagi petunjuk tentang perempuan dalam lukisan suaminya.
Satu jam berputar-putar
sepertinya tak cukup untuk Kinan. Begitu banyak hal-hal menakjubkan yang ia
temukan. Sekali lagi ia mengitari ruang pameran. Kali ini dia sendirian. Bima
tengah bertegur sapa dengan beberapa panitia yang dikenalnya.
Pada satu sudut Kinan
terpaku. Di hadapannya ada sebuah topeng yang terbuat dari kayu. Topeng dengan
wajah renta dan alis memutih seolah menampakkan raut wajah yang telah dimakan
usia. Menjadi tua adalah kodrat alam yang tak bisa dihindari oleh manusia.
Kinan sadar itu. Dan perlahan kesadaran itu hadir. Bahwa saat ini adalah waktu
yang kelak akan menjadi kenangan di masa tuanya nanti. Akankah dia
menghabiskannya untuk berburuk sangka pada Bima?
***
Satu jus apukat untuk
Bima, satu just stroberi untuk Kinan. Kinan mengucapkan terima kasih pada waitress yang telah membawakan minuman
ke meja mereka. Malam ini Kinan mengenyahkan semua rasa heran atas tingkah
Bima. Kalau kemarin tiba-tiba saja Bima mengajaknya ke pameran lukisan, kali
ini Bima mengajaknya untuk makan malam di kafe tempat Bima dulu melamarnya.
Kafe yang tiga tahun lalu menjadi saksi saat anggukan kecilnya sanggup membuat
Bima teriak-teriak kegirangan.
“Nan?” Bima memanggilnya
dengan nada ragu-ragu.
“Kenapa?” tanya Kinan.
“Apa kamu pernah merasa
cemburu selama menjadi istriku?” tanya Bima.
Kinan menautkan alisnya
tak mengerti. Dia ingin jujur, tapi dia sendiri tidak tahu apakah kejujurannya
adalah yang terbaik. Belum sempat ia menjawab, Bima sudah melanjutkan
kalimatnya.
“Aku selalu merasa
cemburu. Pada kamu. Meski kenyataannya kamu tak melakukan apa-apa, tapi kamu
sanggup membuat lelaki berpaling hanya dengan sebuah senyuman.”
Gombal? Bima? Kinan diam
saja.
“Namun aku sadar,
kecemburuanku sia-sia sebab sejatinya aku lah yang memilikimu seutuhnya. Tiga
tahun pernikahan kita, meski belum ada suara pangeran dan putri kecil di rumah,
namun kita bisa melewatinya dengan baik-baik saja.”
Ya, Kinan ingat kata ibu
mertuanya. Bahwa ujian pernikahan itu ada di tahun pertama, ketiga dan kelima.
Itu menurut beliau. Namun kapan pun ujian datang, Kinan berharap ia dan suami selalu bisa mengatasinya,
mempertahankan kapal mereka menuju bahtera sakinah hingga akhir hayat.
Tiba-tiba rasa cemburunya pada serangkaian lukisan yang ia temukan menguap
begitu saja.
“Jika cintaku untukmu
adalah mata air yang tak kan ada habisnya, maka cintamu bagiku ada air terjun
yang menyejukkan, membahagiakan. Jadilah istriku sampi ajal memisahkan kita.”
Bima mengulurkan sebuah
kotak beludru. Seuntai kalung dengan liontin berupa ukiran nama menampakkan
diri ketika penutupnya di buka. Kinan, lagi-lagi, terkesima. bukan karena
hadiahnya. Tapi, liontin di kalung itu tertulis sebuah nama... Azima.
Itu bukan namanya.